Senin, 02 Juni 2008

Semua terjadi karena suatu alasan

Semua dimulai dari impianku. Sejak kecil aku ingin menjadi astronot. Aku ingin terbang ke luar angkasa. Tetapi aku tidak memiliki sesuatu yang tepat. Aku tidak memiliki gelar. Dan aku bukan seorang pilot. Namun, sesuatu pun terjadilah….

Gedung Putih mengumumkan mencari warga biasa untuk ikut dalam penerbangan 51-L pesawat ulang-alik Challanger. Dan warga itu adalah seorang guru. Aku warga biasa, dan aku seorang guru. Hari itu juga aku mengirimkan surat lamaran ke Washington. Setiap hari aku berlari ke kotak pos. Akhirnya datanglah amplop resmi berlogo NASA. Doaku terkabulkan. Aku lolos penyisihan pertama. Ini benar-benar terjadi padaku.

Selama beberapa minggu berikutnya, perwujudan impianku semakin dekat saat NASA mengadakan test fisik dan mental. Begitu test selesai, aku menunggu dan berdoa lagi. Aku tahu aku semakin dekat pada impianku. Beberapa waktu kemudian, aku menerima panggilan untuk mengikuti program latihan astronot khusus di Kennedy Space Center.

Dari 43.000 pelamar, kemudian 10.000 orang, dan kini aku menjadi bagian dari 100 orang yang berkumpul untuk penilaian akhir. Ada simulator, uji klaustrofobi , latihan ketangkasan , percobaan mabuk udara. Siapakah di antara kami yang bisa melewati ujian akhir ini ?

Tuhan, biarlah diriku yang terpilih, begitu aku berdoa. Lalu tibalah berita yang menghancurkan itu. NASA memilih orang lain yaitu Christina McAufliffe. Aku kalah. Impian hidupku hancur. Aku mengalami depresi. Rasa percaya diriku lenyap, dan amarah menggantikan kebahagiaanku. Aku mempertanyakan semuanya. Kenapa Tuhan? Kenapa bukan aku?

Bagian diriku yang mana yang kurang? Mengapa aku diperlakukan kejam ?

Aku berpaling pada ayahku. Katanya: "Semua terjadi karena suatu alasan."

Selasa, 28 Januari 1986, aku berkumpul bersama teman-teman untuk melihat peluncuran Challanger. Saat pesawat itu melewati menara landasan pacu, aku menantang impianku untuk terakhir kali. Tuhan, aku bersedia melakukan apa saja agar berada di dalam pesawat itu. Kenapa bukan aku? Tujuh puluh tiga detik kemudian, Tuhan menjawab semua pertanyaanku dan menghapuskan semua keraguanku saat Challanger meledak, dan menewaskan semua penumpang.

Aku teringat kata-kata ayahku: "Semua terjadi karena suatu alasan." Aku tidak terpilih dalam penerbangan itu, walaupun aku sangat menginginkannya karena Tuhan memiliki alasan lain untuk kehadiranku di bumi ini. Aku memiliki misi lain dalam hidup. Aku tidak kalah; aku seorang pemenang....

Aku menang karena aku telah kalah. Aku, Frank Slazak, masih hidup untuk bersyukur pada Tuhan karena tidak semua doaku dikabulkan.

Tuhan mengabulkan doa kita dengan 3 cara:
1. Apabila Tuhan mengatakan YA. Maka kita akan mendapatkan apa yang kita minta.
2. Apabila Tuhan mengatakan TIDAK. Maka mungkin kita akan mendapatkan yang lain yang lebih sesuai untuk kita.
3. Apabila Tuhan mengatakan TUNGGU. Maka mungkin kita akan mendapatkan yang terbaik sesuai dengan kehendakNYA.

Oleh sebab itu bersyukurlah dan berprasangka baiklah selalu terhadap apa yang kau terima saat ini apapun itu kondisinya ……………

Rabu, 30 Januari 2008

Selamat jalan, Jenderal.

Hari Minggu tanggal 27 Januari 2008, hari yang penuh duka bagi bangsa Indonesia seiring telah meninggalnya mantan presiden Soeharto.

Kematian bapak H.M. Soeharto menjadi berita utama di setiap media Indonesia, baik cetak maupun elektronik. Ini tentu menjadi momen yang bersejarah bagi seseorang yang telah mematrikan namanya sebagai salah satu tokoh yang sangat berpengaruh pada perjalanan negara Republik Indonesia. Soeharto atau the smiling General pernah berkuasa sebagai presiden R.I. selama 32 tahun, yaitu dari tahun 1966 sampai dengan 1998. Kehadirannya akan dikenang sebagai salah satu presiden yang penuh kontroversial, dicintai dan dibenci oleh sebagian rakyat Indonesia. Banyak orang yang membenci dan dendam kepadanya, tetapi lebih banyak lagi orang yang mencintai dan memujanya. Hanya waktu yang dapat membuktikan, apakah seorang Soeharto adalah pahlawan atau perusak bangsa Indonesia.

Terlepas dari pro-kontra, sebagai manusia dan umat muslim saya hanya bisa mengucapkan “Inna lillahi wa inna illaihi rajiu’n”, semoga Alloh swt mengampuni segala dosa dan kesalahannya. Amien. Selamat jalan, Jenderal.



Kamis, 17 Januari 2008

Hadapi dengan Senyum


Hari ini saya melihat berita di TV tentang kerusuhan Sepakbola Indonesia, di babak 8 Besar Liga Indonesia antara Persiwa Wamena vs Arema Malang dan Persija Jakarta vs Persik Kediri. Ini mungkin bukan yang pertama, bahkan sering. Tetapi, yang terakhir ini membuat hati saya semakin miris melihat masa depan sepakbola Indonesia dan bahkan bangsa Indonesia secara keseluruhan.

Sangatlah sering kita mendengar dan melihat berita kerusahan di Indonesia, khususnya di sekitar pertandingan sepakbola Liga Indonesia. Hancur, miris, dan frustasi rasanya hati ini melihatnya. Pertanyaannya, sampai kapan hal itu terjadi. Kita semua pasti memimpikan atmosfir sepakbola seperti Liga Inggris misalnya, dimana pertandingan selalu berjalan dengan tertib. Memang, kontroversial dalam sepakbola akan selalu terjadi, bahkan di Liga Inggris sekalipun, tetapi masalahnya bagaimana pihak-pihak yang terlibat dalam pertandingan tersebut menyikapi.

Mungkin kita tidak bisa menghakimi atau menyalahkan satu pihak; suporter, perangkat pertandingan (wasit/panpel), atau pemain dan official tim sepakbola atau bahkan induk organisasi PSSI, tetapi dengan hati jernih saya melihat bahwa ini sudah menjadi persoalan bangsa. Kita harus sadari, bahwa akhir-akhir ini sebagaian bangsa kita sakit. Setiap persoalan selalu disikapi dengan kemarahan dan saling tunjuk biang kesalahan, bukan hanya monopoli pertandingan sepakbola. Kita bisa melihat dan mendengar berita di TV yang isinya selalu tentang kerusuhan dan domonstrasi, baik itu masalah Pilkada, PHK, atau bahkan persoalan sepele yang mungkin bisa diselesaikan dengan musyawarah, tetapi karena masing-masing pihak sudah diliputi kemarahan, persoalan tersebut menjadi besar.

Yang lebih menyedihkan, tampaknya hukuman pun sekarang sudah tidak menjadi efek jera. Kita melihat sudah banyak hukuman yang diberikan, baik kepada pemain sepakbola, wasit, pengurus/official, bahkan suporter (yang belum mungkin pengurus PSSI). Tetapi, kerusuhan toh tetap ada dan kembali terjadi, bahkan pada level tertinggi sepakbola Indonesia, Babak 8-besar Liga Indonesia.

Terkait masalah kerusuhan dan persoalan lain yang menghinggapi sepakbola Indonesia (seperti dana APBD misalnya), ada pemikiran bagaimana solusi yang lebih baik. Mungkin opsi untuk menghentikan kompetisi Liga Indonesia tahun 2008 perlu dipikirkan. Seperti dalam kasus IPDN/STPDN, pemerintah memutuskan untuk menutup STPDN dan menggantinya dengan lembaga lain. Saya pikir, PSSI juga harus berani mengambil tindakan seperti itu, demi Sepakbola Indonesia. Dalam masa itu, hendaklah semua insan sepakbola indonesia untuk merenung sambil mencari solusi yan gterbaik untuk kemajuan Sepakbola Indonesia yang lebih baik. Perlu REFORMASI dalam pengelolaan sepakbola Indonesia.

Terakhir, saya hanya bisa menghimbau kepada seluruh insan Sepakbola Indonesia untuk cepat bersadar diri dan taubat kepada yang maha kuasa, Alloh swt. Kita harus sepakat untuk menyelamatkan sepakbola Indonesia. Kita semua, bukan hanya pemain sepakbola, official tim, wasit, pengurus klub, pengurus PSSI, dan suporter. Untuk menyikapi hal ini, saya tertarik dengan syair lagunya Dewa, Hadapi dengan Seyum.

Hadapi dengan Senyum
By Dewa

Hadapi dengan Senyuman, Semua yang terjadi..biar terjadi
Hadapi..dengan tenang jiwa, Semua..kan baik-baik saja.
Bila ketetapan tuhan. Sudah ditetapkan, tetaplah sudah.
Tak ada yang bisa merubah. Dan tak kan bisa berubah.
Relakanlah saja ini. Bahwa semua yang terbaik.
Terbaik untuk kita semua. Menyerahlah untuk MENANG.


Rabu, 16 Januari 2008

Kanyaah indung

Ini adalah postingan pertamaku di blog ini. Kebetulan pagi ini saya dapat e-mail dari temen dengan judul di atas ( dalam bahasa sunda). Bagi saya, ini sangat menyentuh. Maaf, bagi yg tidak mengerti bahasa sunda.

Kanyaah Indung - Bapa

Gubrag ka alam dunya, kocéak dengékna jéntré meupeuskeun jemplingna peuting.
Disanggap ku cireumbay kabungah nu jadi kolot.
Renghap-ranjugna indung nu ngalahirkeun,
Kahariwangna Bapa anu teu aya watesna
Kaubaran ku ngagoakna ceurik kuring.

Belenyéhna seuri kuring matak gumbira anu jadi kolot,
Réngkak polahna kuring jadi bahan gogonjakan anu jadi kolot.
Waktu kuring nandangan lara kolot kuring bingung anu teu aya hinggana,
Teu kuat ngabendung kabingung indung kuring nyegruk ceurik.
Ningali kuring kasampak gering bapa kuring ngahelas bangun nalangsa, nalangsa pinuh ku kanyaah.

Basa kuring geus jadi nonoman, teu saeutik kuring boga masalah
Kasaha deui mun teu ka kolot kuring, kuring ngadu
Bapa kuring anu ngabébérés masalah kuring
Indung kuring anu ngupahan rasa kasedih kuring

Ayeuna kuring geus gedé
Ayeuna kolot kuring geus rarempo
Asa can pernah kuring mulang tarima
Nu aya ngan ngaririweuh jeung méré kapusing anu jadi kolot

Boh indung kuring atawa bapa kuring
Dugi ka ayeuna kanyaahna teu pegat-pegat
Kajeun jauh ditungtung lembur
Kajeun anggang ti pakarangan
Kanyaah indung bapa kuring tetep pageuh teu aya watesna

Duh... Ema, Bapa hampura kuring
kuring teu acan tiasa mulang tarima kanu jadi kolot

---00----

Dalam bahasa Indonesia, artinya kurang lebih begini.

Kasih Sayang Ayah-Bunda

Lahir ke dunia, teriakan tangisnya memecah keheningan malam
Disambut dengan tetesan air mata kebahagiaan kedua orang tua
Naik turun nya napas ibunya yang melahirkan
Kekhawatiran ayah yang tak ada batasnya
Terobati dengan tangisku

Senyumku membuat senang orang tua
Tingkah laku ku memjadi bahan canda orang tua
Waktuku mendapat musibah orangtuaku bingung tiada tara
Tidak kuat menahan rasa bingung, ibuku menangis lara
Melihatku sakit ayahku nelangsa penuh dengan kasih sayang

Ketika aku menjadi remaja, tidak sedikit aku mengalami masalah
Tidak ada orang lain untuk mengadu selain kepada ayah bunda
Ayahku yang membereskan masalahku
Ibuku yang membesarkan hatiku

Sekarang aku sudah dewasa
Ayah ibuku sudah tua
Serasa aku belum pernah balas budi
Yang ada hanya membuat repot dan pusing mereka

Baik ibu maupun ayah
Samapai sekarang kasih sayangnya tak pernah terputus
Meskipun jauh di ujung kampung
Meskipun pisah dari pekarangan
Kasih sayangnya tak pernah ada batas

Duh..ibu, ayah..maafkan aku'
Aku belum bisa membalas budi pada ayah dan ibu